Langsung ke konten utama

Candi Singasari dan Candi Sumberawan

Memang bukan kali pertamanya ke Singasari, Malang, Jawa Timur. Mungkin kali ketiganya, di tanggal 11 Januari 2024, merupakan kali keempatnya. Namun, sebelumnya pernah berkunjung ke Arca Dwarapala Kembar, Pemandian Ken Dedes (Petirtaan Watu Gede), dan Candi Sumberawan, tetapi tak sempat berkunjung ke Candi Singasari sebab terhalang oleh waktu setiap kali berkunjung ke Singasari Malang. 
Hingga pada akhirnya, penantian yang sangat lama untuk berkunjung ke Candi Singasari terlaksana pada tanggal 11 Januari 2024. Tidak hanya bahagia saja yang ada, melainkan juga rasa yang berkecamuk yang tak keruan karena pada akhirnya akan dan segera menginjakkan kaki dan melihat Candi Singasari.

Tepat di tanggal 11 Januari 2024, saya pun langsung ke stasiun pemberangkatan menuju ke stasiun tujuan. Pada jam 07.00 WIB sampailah di tujuan Stasiun Singasari. Karena jam buka candi di Google jam 08.00 WIB, saya pun menunggu di dalam stasiun sembari mencharge handphone.


Jam kemudian menujukkan pukul 08.00 WIB dan battery handphone masih 60%. Karena mencari aman, saya tunggu sampai 80% dulu. Saat sudah 80% tepat di jam 09.00 saya pun melanjutkan ke Candi Singasari. Sebelumnya saya merencanakan akan ke arca Dwarapala Kembar, akan tetapi kemungkinan tidak jadi. Karena setelah dilihat-lihat dan dirasa-rasa, akan ada keterbatasan waktu. Sebab inginnya agak lama di Candi Singasari. Dan, benar saja. Pada akhirnya hanya dua tujuan. Candi Singasari dan Candi Sumberawan.

Setibanya di Candi Singasari. Saat masuk ke area setelah mengisi buku tamu pengunjung. Berjalan saya ke tempat teduh di bawah pohon. Seketika hati saya terenyuh. Bahagia berkecamuk di mana-mana. Terasa seperti ada rasa rindu yang ditahan lama, kemudian terbayarkan—meskipun rasanya masih kurang, karena waktu terbatas. Cukup lama saya duduk di sana, sembari melihat anak-anak taman kanak-kanak yang sedang berfoto bersama dengan guru-gurunya—saya rasa mereka sedang study tour kala itu. Tak berselang lama, kemudian ingatlah saya dengan doa di waktu lalu kepada Tuhan. Kalau, ingin berkunjung di Candi Singasari. Napas pun semakin memberat dan berkali-kali saya bersyukur menyebut namaNya. 
 


Sesampainya di Candi Singasari, seketika saya merasa ada sesuatu energi yang sangat positif sekali di sana. Rekam waktu di masa lalu sempat terbuka. Ada begitu banyak pria dan wanita, laki-laki dan perempuan, juga anak kecil sedang melakukan aktivitas semacam seperti sembahyangan di sekitar candi tersebut. Sembari membawa perlengkapan sembahyangan dengan mengenakan pakaian di zaman dulu, bahawahannya kain jarik dan atasannya mengenakan pakaian berwarna putih. Tampaknya mereka akan khidmat saat berdoa nanti. Ya, tampaknya. Karena seketika jejak rekam waktu yang sempat terbuka tadi, menjadi kabur dan hilang. Lalu berdirilah saya dan berjalan mendekati candi.

Berkelilinglah kemudian saya memutari candi Singasari. Melihat arsitektur candi yang begitu megah dan indahnya. Peninggalan leluhur Nusantara, di wilayah Malang Singasari. Letak kerajaan besar dan digdaya di masanya, kerajaan Singhasari —maaf kalau ada kesalahan penulisan. Setelah selesai berkeliling, saya melihat dua orang dan salah satunya adalah youtuber terkenal, youtuber (Mas Asisi dan istri beliau) mengenai sejarah hebat candi-candi yang terdapat Nusantara, negeri yang besar, negeri yang mempunyai cita-cita, tujuan luhur untuk negeri, rakyat dan masyarakatnya. 

Saya pun mendekati beliau, ada juga rasa takut keliru atau salah orang. "Mohon maaf Mas, Mas yang di punya youtube di Asisi Chanel?" Beliau pun menjawab, "Iya. Nonton Asisi Chanel?" Jawab saya, "Iya, Mas." Dan nanti, mungkin mas ini akan saya panggil Mas Asisi, yah. Mohon maaf, jika memanggil masnya begitu. Karena belum berkenalan nama dengan beliau.

Kemudian saya pun berbincang dengan beliau dan bertanya-tanya kepada beliau mengenai Candi Singasari dan bertanya perihal apa yang sempat terlihat oleh saya ketika tentang sosok dewi dari Dewa Siwa. Beliau pun berkata, iya di sini ada arca tersebut, tetapi diambil (dicuri) oleh penjajah Belanda dan sekarang sudah kembali ke museum Jakarta. 



Perbincangan kami pun tak lama. Sebab kedatangan beliau ke Candi Singasari karena akan bertemu dengan tamu yang akan juga mengunjungi Candi Singasari. Saya pun kembali duduk, menikmati sepoi angin dan kembali memandangi candi dengan perasaan yang syahdu. Tak lama, Mas Asisi pun berjalan mendampingi tamu (sebut saja Pak -, karena tidak mungkin saya menyebutkan nama beliau, mohon harap maklum, ditakutkan nanti ada salah persepsi dari pembaca yang budiman), beliau menghampiri salah satu sudut candi dan mungkin merasakan suatu energi yang besar dan sangat meneduhkan. Seketika saja Mas Asisi berucap. "Coba saja, Pak. Tanya ke masnya, siapa tahu masnya bisa merasakan yang Bapak rasakan 'itu', mungkin?" Sambil beliau tersenyum.

Pak - pun bertanya soal energi yang luar biasa terasa di candi tersebut waktu itu. Sampai membuat bulu roma di tangan bapak, berdiri. Rasa merinding sepertinya menjalan di tubuh beliau. Memang, ketika itu energi postif tepat di hari itu cukup besar. Beliau pun berkata kalau "beliau-beliau" telah hadir saat itu. Ya, memang auranya terasa sekali di hari itu. Saya saja sewaktu masuk, ada rasa yang tak keruan.

Kami pun (saya dengan Pak -) bercerita tentang banyak hal. Apapun itu tentang leluhur dan sejarah di Nusantara yang dikemas dengan cukup sederhana, karena kalau terlalu panjang, mungkin waktu beliau tidak akan cukup. Sebab mungkin juga beliau akan melanjutkan ke perjalanan selanjutnya. Lagi dan lagi, saya tidak tahu nama beliau. Karena saya belum terbiasa berkenalan dengan seseoramg bertanya tentang nama. Belum terbiasa. Mungkin nanti, akan terbiasa. Saya pun tahu nama-nama beliau-beliau saat di sosial media Instagram milik BPK (Balai Pelestarian Kebudayaan) Wilayah 11. 

Sewaktu kami bertiga bercerita, (Saya, Mas Asisi dan Pak -) saya kembali melihat rekam waktu masa lampau. Rekam waktu yang membuat saya bersyukur karena berkesempatan melihat rekam waktu lampau itu. Rekam waktu, di saat masyarakat lampau (rekam waktu itu, zamannya berbeda dengan rekam waktu saat saya ceritakan di awal-awal) di zaman kerajaan yang berjalan dari arah arca Dwarapala Kembar (saya kurang tahu, soal arah mata angin), berjalan banyak orang sangat ramai sekali. Dengan wajah-wajah berduka cita dan anak-anak kecil yang berjalan. Terdengar juga isak tangis lirih orang-orang tersebut berjalan menuju ke candi—pemandangan yang begitu khidmat dan cukup serius yang tampak dari guratan beberapa orang-orang di barisan depan, tetapi bukan yang paling depan. Sebagian ada yang duduk di bawah candi. Sebagian (orang yang punya jabatan penting dan pemuka agama) naik ke atas candi untuk berdoa memberikan upacara penghormatan bagi orang besar di Kerjaan Singasari yang sudah tiada. Siapa lagi kalau bukan raja terakhir Singasari. Raja agung, raja adil, raja yang tegas, punya tujuan agung yang kemudian tujuan itu dilanjutkan oleh anak dan cucunya. Tak berselang lama, kabur kemudian rekam waktu masa lampau itu, lalu hilang. Tinggal sepoi angin dan masih tetap dengan aura dan energinya yang positif.

Kembali saya dibuat haru, agaknya saya memang tidak bisaan kalau menyoal hal-hal yang menyentuh. Pasti akan terharu. Saat ada getaran vibrasi yang menyampaikan ke saya untuk meminta salah satu dari rombongan beliau-beliau mendekat ke salah satu sudut candi. Karena saya rasa, ini memang diperlukan, saya memberanikan diri berkata ke Pak - untuk menyampaikan pesan tersebut. "Pak, mohon maaf sebelumnya. Saya mungkin belum kenal baik dengan Bapak dan belum kenal baik dengan beliau (salah satu rombongan beliau). Mohon maaf sekali Pak, saya hanya menyampaikan sesuatu hal, kalau beliau (salah satu rombongan Pak -) diminta mendekat ke arah sana (saya menunjuk di salah satu sisi sudut candi). Jika diperkenanakan, boleh kiranya saya meminta tolong Bapak untuk menyampaikan ke beliau (salah satu rombongan beliau) sebab "beliau" sudah menunggu beliau, meminta sebentar untuk mendekat. Mohon maaf sebelumnya, Pak." Saya sangaf hati-hati berbicara dengan Pak -, karena juga baru kenal dengan perbincangan yang sebentar dan sederhana.
"Tunggu, saya akan tanya dulu. Ke mana dia tertarik untuk mendekati dari empat sisi candi."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Pak - pun mendekat dan bertanya kepada salah satu rombongan yang saya rasa orang-orang besar seperti Pak - dan Mas Asisi juga istri Mas Asisi. 
Beliau pun menunjuk ke arah yang saya maksud.
Pak - pun membalikkan badan dan tersenyum ke arah saya.
Beliau (salah satu dari rombongan) mendekat dan langsung berkaca-kaca mata saya. Melihat pemandangan yang mengharukan. Kau tahu, orang yang melepas rindu kepada seseorang, kan? Nah, begitulah rasanya. Lama dan lama, saya merasakan dan mendapati sesuatu hal, yaitu adanya garis hubungan beliau (salah satu rombongan beliau tersebut) dengan "beliau"  di Singasari. Terasa seperti hubungan dekat, tetapi sangat jauh sekali, bisa dibilang sepertinya ada garis leluhur yang ada di Singasari.

Waktu pun, berjalan begitu cepat. Perjalanan beliau-beliau harus berakhir di Candi Singasari dan kami pun berfoto bersama-sama. Mulanya saya tidak mau, karena sungkan. Takut, kalau mengganggu dokumentasi beliau-beliaunya. Karena ada orang yang tak dikenal di dalam list mereka. Pak - pun berkata, "Ayo, nggak apa-apa." Lalu saya pun ikut berfoto dengan beliau-beliau orang besar dan hebat. Dan benar saja, beliau orang-orang besar dan hebat setelah membaca deskripsi di IG BPK Wilayah 11. Itu pun saya tahunya saat foto beliau-beliau terunggah di sana.



Saat hendak berpisah. Salah satu rekan Pak - menghampiri saya. Untuk diajak oleh Pak - makan siang bersama rombongan-rombongan beliau. Namun dengan berat dan kerendahan hati, saya menolak halus ajakan tersebut. Dikarenakan, pertama saya tak enak menganggu pertemuan beliau-beliau saat di makan siang nantinya dan yang kedua, saya masih ingin di Candi Singasari. Mengingat saat itu jam 11.30 WIB. Takut juga waktu tidak cukup saat hendak ke Candi Sumberawan. Karena atas saran orang-orang, agar tak sampai jam 14.00 WIB di Candi Sumberawan. Karena di Malang akhir-akhir itu, hujan selalu di jam 14.00 WIB. Apalagi jalanan dari hutan pinus ke Candi Sumberawan pasti licin kalau hujan, dan berlumpur. Memang jalanan di sana masih bertanah dan belum ada jalanan khusus yang diaspal atau dipaving sebagai akses jalan pengunjung ke Candi Sumber Awan, jalan yang mungkin menjadi solusi agar tidak licin atau terpleset untuk pengunjung, wisatawan, orang-orang yang sembahyangan di sana saat musim penghujan. Atau ..., memang mungkin, tidak diberi jalan khusus yang dipaving atau aspal (jalan setapak), agar suasana hutan pinusnya masih terasa senagaimana mestinya hutan (sesuai dengan jalanan di hutan-hutan pada umumnya —mungkin).

Benar saja, saat sampai di Candi Sumberawan, Ibu penjaga loket pintu masuk hutan pinus, berucap. "Biasanya jam 14.00 WIB hujan derasa mas, untungnya di hari ini, nggak turun hujannya. Meskipun mendung dan suara petir terdengar. Sebetulnya ingin balik dari Candi Sumberawan ke Stasiun Singasari, pukul 17.00 WIB atau 18.00 WIB. Namun karena saya khawatir tidak ada ojek online yang menerima pesanan ojek online di jam tersebut. Karena turunan menuju ke Camdi sumberawan cukup curam dan jalan menuju ke sana, kanan kiri masih dipenuhi oleh pepohonan yang tinggi dan rindang. Meskipun ada pemukiman warga di sana.



Saat rombongan beliau (baik Mas Asisi dan Pak -), sudah meninggalkan Candi Singasari. Kembali saya duduk di bawah pohon. Baru saja kembali bercengkrama dengan suasana di Candi Singasari. Datang kemudian rombongan murid SMP yang study tour. Di sana kembali saya bertemu dengan seorang Pak Guru SMP. Berceritalah kami berdua di sana. Ceritanya pun juga sebentar dan sederhana. Ada pertanyaan beliau yang cukup membuat saya ikut berpikir. Pertanyaan tersebut adalah. "Kenapa saat tour guide menjelaskan sejarah candi, terutama audiens mereka murid/pelajar tidak diberitahu, tentang. Mengapa candi itu dibangung di tempat yang sudah ditentukan? Dan mengapa tidak dijelaskan juga, mengapa setiap arca itu letaknya ada di empat mata penjuru?" Saya yang mendengar tanya beliau itu, tersenyum seraya memikirkan pertanyaan, iya yah kenapa nggak begitu? Tak lama kemudian, beliau pamit dan lanjut ke tujuan selanjutnya. Museum Brawijaya dan Alun-Alun Malang.

Sebelumnya, Bapak Guru SMP itu tiba-tiba tanya, "Apakah masnya penulis?"
Saya tertegun sebentar. Saya tahu, sepertinya Bapak itu, juga bukan orang biasa. Jawab saya, "Insya Allah, iya, Pak. Tetapi penulis fiksi."
"Siapa tau Mas di sini juga mencari inspirasi nulis."
"Untuk saat ini, enggak Pak. Hanya ingin berkunjung saja."
"Mas sudah ke candi X dan Y?"
Saya mengembuskan napas, dan tertawa kecil saja. Karena ingat kalau candi X dan Y, merupakan candi yang juga ingin saya kunjungi. Namun, pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang sering keluar dari wisatawan yang saya temui di candi. Jadi, bukan Bapak Guru SMP saja yang tanya. Wisatawan yang sepasang laki-laki dan perempuan. Dan juga ibu-ibu yang sempat duduk berteduh di bawah pohon. Dalam hati berucap, "Baiklah, mungkin ini isyarat. Tinggal tunggu waktu dan gimananya aja nanti. Tunggu Tuhan dan Semesta yang memberikan kemudahan lagi nantinya untuk ke candi X dan Y. Mungkin bukan dua candi itu saja, melainkan ke candi-candi lain yang sudah ada di list. Itu pun jika dipermudah olehNya. Manusia boleh berencana, tetapi kehendakNya yang akan bekerja untuk, ya atau tidak.

Jam pun kemudian menunjukkan ke pukul 12.45 WIB. Mau tak mau saya harus lanjut ke Candi Sumberawan. Karena takutnya, Candi Sumberawan akan tutup jam operasionalnya. Di sepanjang perjalanan menuju Candi Sumberawan, ada pertanyaan dalam diri. "Ah, mungkin tanya beliau-beliau yang sayang temui, (baik rombongan Pak -, Bapak Guru SMP, dan pengunjung/wisatawan yang menyebut dua nama candi X selain Y) adalah suatu pengingat kalau memang perlu nantinya ke cadi X dan Y. Namun, lebih utama dulu di Candi X. Ah, sudahlah. Jika memang waktunya dan sudah kembali ada rezeki dari Tuhan, segalanya akan terjadi. Sebagaimana saat ini, tiba-tiba saja berkunjung ke Candi Singasari dan Candi Sumberawan. 




Sampailah kemudian di Candi Sumberawan Ada salah satu tempat yang menarik untuk saya ketahui, tetapi mungkin saya rasa belum untuk hari ini. Mungkin nanti atau kapan. Di sana tak bisa lama-lama. Karena ternyata, suara petir sudah berbunyi, awan pun juga sudah cukup abu. Rasa angin pun juga sudah mengisyaratkan akan turun hujan. Bergegaslah saya kembali ke Stasiun Singasari, tepat di pukul 15.25 WIB. Di sepanjang perjalanan, terdengar terus suara petir. Untungnya tak sampai menggelegar. Dan juga tak sampai hujan, saat sudah sampai di stasiun. Bahkan tak turun hujan, sampai kereta datang di pukul 17.29 WIB. 

Ada beberapa kalimat yang saya jumpai di Candi Sumberawan begini kalimatnya,

Keberkahan itu, bukan saja melulu dan melulu dicari. Melainkan, diciptakan, dihadirkan dalam diri, dan diilhami sebagaimana dengan keberkahan yang diinginkan. Tentunya, siapa lagi kalau bukan Tuhan sang pemilik dan penguasa Semesta Alam Ada di sini manusia-manusia yang memanjatkan doa untuk keberkahannya dengan khidmat, sepenuh hati, tetapi keberkahan itu tidak dan sulit terjadi pada dirinya. Sebab karena, tak dihadirkan keberkahan itu di dalam dirinya, sembari menghadirkan Tuhan sebagai kehadiran akan pengharapan berkah yang diinginkan.

Sungguh dan amat berkesan perjalanan di Candi Singasari dan Candi Sumberawan. Kata-kata dari Pak -, selalu terngingang di kepala saya. Kata itu adalah, Keberagaman tidak akan bisa melebur menjadi satu dalam satu keseragaman saja, sebab negeri kita juga tentang keberagaman. Dan seharus dan setidaknya dari keberagaman itulah haruslah timbul rasa saling menghargai keseragaman-keberagaman itu sendiri. 

Terima kasih Tuhan, terima kasih Semesta. Sebab engkau telah memberikan kesempatan saya untuk datang ke Candi Singasari. Pun juga dipertemukan dengan orang-orang besar dan hebat (Pak -, Mas Asisi, Bapak Guru SMP yang mengantarkan siswa-siswinya study tour di Candi Singasari dan beberapa wisatawan yang ngobrol sebentar di kala itu yang kerap menanyai saya, kenapa tidak di candi X atau/dan Y, dll). Terima kasih juga atas pertemuan dan perbincangan yang sebentar, sederhana, dan sangat berkesan untuk Pak -, Mas Asisi, dan Bapak Guru SMP. Terima kasih juga untuk Bapak/Ibu Admin Instagram BPK Wilayah 11 yang sudah memberikan izin untuk mengambil gambar/foto di Instagram BPK Wilayah 11.

Next ke mana? Tentu saya tidak tahu. Mengikuti alur Tuhan dan Semesta saja nantinya ke mana. Sebab yang dipaksakan, tidak baik baik, kan? Apalagi Tuhan memberikan apa yang memang benar-benar kita butuhkan. Bukan tentang apa yang kita mau saja.  


*
bukan waktu
yang salah
hanya kau saja
yang tidak mempergunakan waktu
dengan baik dan terkadang kau
yang kerap suka
menyalahkan waktu
atas kesalahanmu sendiri



- Selesai -



- Drew Andre A. Martin -



*: Kalimat yang saya peroleh saat berada di Candi Singasari






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Nona Belia

Untukmu nona yang masih belia, tak tahu soal banyak kehidupan, berlagak banyak tahu tentang banyak hal. Padahal ada sesuatu yang tak kau ketahui banyak indukmu. Gayamu seperti penengah, tapi kau bukan apa-apa. Lagakmu layaknya preman, petetang-peteteng, siapa yang tak sopan—menurutmu—kau pelototi dengan keempat matamu yang sebetulnya lemah dalam segala hal. Tingkahmu bagaikan super star, merasa kau segala-galanya, siapa yang butuh datang kemari, jika tak butuh buat apa juga melihat apalagi menyapa, menurutmu, kau dibutuhkan oleh mereka-mereka, padahal mereka-mereka itu menjadikanmu sebagai penggenap saja, macamlah sekadar butuh untuk sementara waktu. Gayamu paling tahu tapi tak banyak tahu, suka ngatur tapi enggan diatur, senang menyuruh tetapi tidak mau disuruh, ingin dihormati dan dihargai namun tak bisa. Untukmu nona yang masih belia. Kau tak tahu begitu banyak hal. Namun gayamu seakan tahu banyak hal. Kau pun suka mendengar secara diam-diam, tetapi enggan didengarkan ketika kau ber...

Virama Dvasasa

JUDUL BUKU: Virama Dvasasa PENULIS: Drew Andre A. Martin NO. ISBN: 978-623-421-441-3 PENERBIT: Guepedia HARGA: Rp 70.000 TAHUN TERBIT: Desember  2023 JENIS BUKU: Buku Cerpen, Fiksi KONDISI BUKU: Buku Baru / Buku Original Asli, Langsung dari Penerbitnya Sinopsis : Virama Dvasasa, diartikan oleh penulis sebagai irama dua belas yang mewakili jumlah dua belas judul di dalam buku antologi cerpen ini. Sedangkan Virama yang berarti irama, merupakan bagian daripada alur dan plot di dalamnya yang tentulah tidak mulus dihadapi oleh setiap tokoh di dalamnya. Baik hambatan, konflik, penyelesaian, jalan keluar yang kadang tidak sesuai dengan espektasi yang diharapkan maupun diinginkan oleh tokoh-tokoh di sana: Leo, Briallan, Manduru, Sarita, Respati, Maria, Ronn, Sinem dan tokoh lainnya. Di sana mereka menciptakan alur irama kehidupan mereka sendiri dan mau tak mau, mereka juga harus bertanggung jawab atas penciptaan iramanya sendiri. Sekalipun mereka tahu atau tidak tahu segala risiko di belak...