Langsung ke konten utama

Entah Bagaimana.

Sepertinya, dia yang telah lama tak berkabar sepuluh tahun dan kembali berjumpa pada satu tahun, masih saja seperti dulu kala. Kaki tangan mereka, masih juga sama; cara ucap dan gerak tubuh kepada sedarahnya dan mendiang, juga masih sama—pada akhirnya. Terlebih dia yang tak pernah berubah. Itu jelas amatlah tampak pada akhir-akhirnya. Nyatanya, benar wasiat sang mendiang, agar tak perlu berkabar padanya di detik terakhirnya. Terbukti betul akhirnya. Dia yang lama tak berjumpa, tampaknya hanya sekedar formalitas. Tampak oleh tingkah gerak geriknya yang tak kerasan menunggu di kursi kayu ditemani gemercik air hujan dan gemeringsing angin saat menuju tengah malam ke pagi hari. Hatinya berantakan, ingin segera pulang. Tak sebagaimana pada keseharusannya. Jika memang, masih ada luka, mengapa harus berpura-pura? Mengapa tak juga bertanya sejak awal? Jurus ampuhnya, kenapa dibuang? Pertanyaanya, siapa juga yang membuang? Padahal, dia tahu bagaimana awal ceritanya. Lucunya, tiaplah banyak pertanyaan, tanda tanya itu dilontarkannta kepada tiap-tiap orang di sini. Bukan malah juga bertanya, tiap-tiap orang di sana. Lebih konyolnya lagi, selalu menyerukan bahwa telah dibuang, ditelantarkan. Tak ada sedikit saja, tuk berpikir luas tentang sang pengambil, yang enggan membebaskan bertemu dengan mendiang. Pada umumnya, pengambil akan kembali menyatukan dengan mendiang. Tapi, apa di kata? Ini bukan pada umumnya. Melainkan pada khususnya. Cerita-cerita diplintir sedemikian rupa oleh pengambil. Dan betapa komedinya, dia yang sudah dewasa dan (katanya) berwawasan luas, kenapa tak bisa berpikir luas? Atau, mungkin dia sudah berpikir luas, dan hanya karena luka tertoreh akibat cerita pengambil, maka keluasan itu menjadi menyempit? Entahlah. Aneh agaknya. Kenapa sejak awal tak bilang, bahwa luka lama belumlah pulih? Kenaoa juga berpura-pura baik, untuk menciptakan citra baik, lalu membuat dua dan empat orang berpihak kepadanya. Lucu sekali memang. Agaknya dia menganggap dua dan empat orang itu, bodoh selain menganggap kekanak-kanakan. 

Tampak suatu kegaduhan yang tak sepatutnya terjadi. Perlakuan si tiga, yang bertindak dengan sendirinya, dianggap ada pengaruh dari satu darahnya. Tanpa konfirmasi, langsung melabrak, langsung mengeluarkan umpatan yang tak seharusnya dikeluarkan oleh orang yang tahu betul tentang aturan-aturanNya yang kerap dibawanya ke mana-mana. Jika kau bertemu dengannya, mungkin kau akan terkesimah. Namun, ketersimahanmu itu akanlah lebur, saat kau tak patuh dan tak menghargainya. Dia yang mau dan inginnya dihargai, lupa bagaimana cara menghargai. Pertikaian terjadi luar biasa. Bahkan lebih kekanak-kanakannya, hal-hal di masa lalu, hal-hal yang dia merasa berjasa—padahal atas inisiatif sendiri untuk membantu pada kala itu— diungkit habis-habisan. Dijajakannya aib demi aib si dua. Ah, dia lupa dengan aib sendiri rupanya. Andai saja, dia tahu betapa aibnya sama dengan si dua dan sedarahnya, mungkin dia akan dipermalukan oleh dirinya sendiri, walaupun dia tak akan malu pada kenampakannya. Barangkali, dengan mengumbar aib, adalah sebuah kepuasan baginya. Seakan memberi tahu, buruk-buruk masa silam, yang seakan dia tak memiliki masa silam yang buruk saja—sepertinya. Bisa jadi mereka merasa menang, bangga karena membuka buruk sedarahnya. Namun, kemenangannya itu, bisa dibilang kedunguan yang tak disadari olehnya.

Mengenai, kebaikan. Lantas apakah setelah kau membeberkan kebaikanmu, kau merasa patut untuk dihargai? Lalu, tak bisakah kau sedikit dan mau mengilas balik tentang kebaikan-kebaikan sedarahmu yang rela melakukan apapun, yang rela tinggal di dalam pasar berjam-jam karena sebab si pengambil yang datang ke rumahmu? Lalu, apakah kau tak ingat, dengan sedarahmua yang membantu memberi solusi atas segala hutang-hutangmu, dengan membantu menghitung lembar demi lembar kertas hak milik emas? Tak ingatkan, kau jarak tempuh yang jauh, ditempuhnya hanya untuk menemanimu? Daan, ya masih banyak lagi. Mungkin kau tak akan mampu mengingatnya. Ah, iya. Tampaknya sedarahmu, tak ingin memberitahu kebaikan-kebaikan yang diperbuatnya untukmu. Sebab juga percuma. Untuk apa mengingatkan kebaikan, padahal kebaikan tak perlu juga dibeberkan. Jika pun dilakukan, maka sedarahmu tak akan ada bedanya denganmu, yang merusak susumu dengan setitik nilamu. 

Untuknya yang kerap kali bertanya, mengapa dibuang? Dan sudah dijelaskan tidak pernah dibuang, dan masih tetap saja kekeh kalau dibuang, sebab percaya dengan si pengambil. Apakah, kau tak sedikit saja berpikir tentang banyak kehidupan yang lalu timbul dari kehidupanmu yang telah diselamatkan oleh suatu budaya, yang diselamatkan oleh mendiang? Entah bagaimana jadinya, jika tak diinisiastifi oleh adat setempat, mungkin kau akanlah tiada dan tak akan beranak pinak sampai sekarang. Tak sedikitkah berpikir? Tak juga tanyakah tentang adat itu pada si pengambil sekaligus pengasuh, yang juga paham betul tentang adat setempat, apalagi si pengambil dan pengasuh juga berbudaya dan beradat yang sama seperti mendiang. Mengapa tak konfirmasi dua sumber, saat kedua sumber masih ada? Kalau hanya alasan kasihan lantaran usia, apa tak kemudian menjadi masalah jika saja lukamu belum sembuh? Luka yang butuh konfirmasi jawaban benar salah, lebih tepatnya. Namun, tentu akan sia-sia. Kau akan tetap menyalahkan mendiang.

Saat mendiang beberapa jam sebelum berpulang, kau pernah berkata, mengapa tak memberitahu sejak awal? Pertama, sudah menjadi pinta mendiang, enggan meminta menghubungimu, sebab mendiang sudah tahu kalau kau akan lebih memilih sang pengambil. Awalnya, anak dari sedarahmu tak enak dengan salah satu anakmu, yang mengerti bagaimana bersikap pada sesama sedarahnya. Akhirnya, anak dari sedarahmu menjadi tahu betul, mengapa mendiang berpesan begitu. Tampak jelas olehnya, kau tak tenang saat mendampingi mendiang. Ingin lekas kembali pulang. Dan akhirnya, terjadilah kejadian yang tak diinginkan pada akhirnya. Mungkin mendiang sudah tahu bagaimana akhirnya. Hanya saja anak dari sedarahmu masih bersikap baik, untuk memberi kabar melalui anak dari sedarahmu. Akhirnya, memang benar pesan mendiang sejak awal. Seminggu, sebelum mendiang berpulang. Kau dinantinya diteras rumah saat kau berpesan akan datang ke rumah mendiang, dipakainya jarik yang kau beri dan sempat kau cela, kalau tidak mau dipakai, buang saja karena sobek-sobek—pada akhirnya, mendiang memakai jarik itu saat kemudian mendiang berpulang, entah kau mengetahuinya atau tidak. Di jam 23.00, mendiang belum tidur. Bertanya apakah kau akan datang, jangankan datang, kau berkabar lagi pun tidak. Hingga paginya, mendiang kembali berpesan, kalau tiba waktunya mendiang berpulang, tak perlu repot-repot menghubingimu. Sang mendiang pun sadar diri, bahwa dia tidak membesarkanmu sejak kecil. Hinggalah mendiang menyadari, bahwa kasihmu bukan untuknya. Mendiang tahu betul itu. Mungkin kau tahu perihal ini, dan mungkin kau akan abai dan anggap ini hanyalah karangan. Bagi sedarahmu, tak jadi masalah, bagaimana kau menganggapnya.

Dan, kau. Apakah kau tak ingat, saat kau berkata di telepon kepada mendiang, soal, ya sudah aku bukan anakmu dan jangan hubungi lagi! Dan tak ingatkah kau, kau pun melarang, anak sedarahmu yang masih kecil untuk berhenti menelepon sang mendiang? Dan juga tak ingatkah kau, pada anak sedarahmu yang pertama, saat mampir ke rumah mendiang, lalu kau pinta dia segera pulang dan tak perlu lama-lama di sana? Apakah kau tahu? Bahwa semua sedarahmu mendengarkan ucap lantangmu itu, sebab telepon di-load speaker. Pun dengan ponsel anak sedarahmu, juga di load speaker olehnya. Bahkan saat kau dipersilakan anakmu berbicara dengan sedarahmu dan mendiang, kau menolak lalu memarahi anakmu tersebut dan menyuruhnya lekas pulang. Tak ingatkah kau?

Dan juga tak ingatkah kau, bagaimana mempengaruhi anak-anak dari sedarahmu, bahwa permasalahan kau tak bertemu selama sepuluh tahuh lebih itu, karena sedarahmu? Tak ingatkan kau? Dan tak tahukah kau, bahwa pengaruhmu itu, mereka hanya sekadar menghargaimu. Pengaruhmu itu tak membuahkan hasil, agar anak-anak sedarahmu ikut menjadi blokmu lalu menciptakan permusuhan pada sedarahnya sendiri? Dan, sekarang kau tahu, bukan? Bahwa anak-anak mendiangmu, tahu letak duduk perkaranya ada padamu, sebab mereka masih ingat bagaimana suara lantangmu berbicara dengan sedarahmu dan mendiang di telepon yang di-load speker. Kau yang membuat salah, lalu mengapa kau menyalahkan orang lain? Apakah agar tak terlihat buruk tentangmu pada anak-anakmu dan anak-anak sedarahmu? Dan, apakah begitu caramu ingin dihargai? Sementara kau lupa dan tak tahu bagaimana cara menghargai? 

Konyolnya lagi. Dia yang merasa menjadi abu-abu dan tak menganggap mendiang seperti penganggapannya. Datang dengan amarah di suatu musibah besar yang mana keluarga masih berduka. Diam-diam, dia meminta haknya. Hak yang katanya, tak akan dia urusi lagi. Sebab dia masih belumlah jelas tentang hal-hal lainnya—begitu kata dia sendiri. Lucu agaknya. Tak ada angin, tak ada banjir. Dengan lantang, dia berkata yang kalau dilihat di masa lampau yang pernah diucapkannya itu, lalu menjadi diucapkannya. 

Begitulah akhir cerita fiksi tentang dia, mendiang, dan sedarahnya. Dan agaknya, kehidupan itu lucu jika diperhatikan dengan saksama. Saling menyalahkan, dan saling mencari cela. Pun, gila ingin dihargai/dihormati, tetapi lupa bagaimana cara menghargai/menghormati. Lagi pula untuk apa hal itu ada? Apakah sebagai penanda kasta? Tak mungkin, jika tentang bagaimana cara mengajari oramg untuk berterima kasih tiap kali menerima bantuan. Sebab, tentulah oranh yang menerima bantuan, baik secara langsung atau tak langsung, akan berucap terima kasih dengan caranya masing-masing.


- Drew Andre A. Martin -






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Candi Singasari dan Candi Sumberawan

Memang bukan kali pertamanya ke Singasari, Malang, Jawa Timur. Mungkin kali ketiganya, di tanggal 11 Januari 2024, merupakan kali keempatnya. Namun, sebelumnya pernah berkunjung ke Arca Dwarapala Kembar, Pemandian Ken Dedes (Petirtaan Watu Gede), dan Candi Sumberawan, tetapi tak sempat berkunjung ke Candi Singasari sebab terhalang oleh waktu setiap kali berkunjung ke Singasari Malang.  Hingga pada akhirnya, penantian yang sangat lama untuk berkunjung ke Candi Singasari terlaksana pada tanggal 11 Januari 2024. Tidak hanya bahagia saja yang ada, melainkan juga rasa yang berkecamuk yang tak keruan karena pada akhirnya akan dan segera menginjakkan kaki dan melihat Candi Singasari. Tepat di tanggal 11 Januari 2024, saya pun langsung ke stasiun pemberangkatan menuju ke stasiun tujuan. Pada jam 07.00 WIB sampailah di tujuan Stasiun Singasari. Karena jam buka candi di Google jam 08.00 WIB, saya pun menunggu di dalam stasiun sembari mencharge handphone. Jam kemudian menujukkan pukul 08.00 W...

Untukmu Nona Belia

Untukmu nona yang masih belia, tak tahu soal banyak kehidupan, berlagak banyak tahu tentang banyak hal. Padahal ada sesuatu yang tak kau ketahui banyak indukmu. Gayamu seperti penengah, tapi kau bukan apa-apa. Lagakmu layaknya preman, petetang-peteteng, siapa yang tak sopan—menurutmu—kau pelototi dengan keempat matamu yang sebetulnya lemah dalam segala hal. Tingkahmu bagaikan super star, merasa kau segala-galanya, siapa yang butuh datang kemari, jika tak butuh buat apa juga melihat apalagi menyapa, menurutmu, kau dibutuhkan oleh mereka-mereka, padahal mereka-mereka itu menjadikanmu sebagai penggenap saja, macamlah sekadar butuh untuk sementara waktu. Gayamu paling tahu tapi tak banyak tahu, suka ngatur tapi enggan diatur, senang menyuruh tetapi tidak mau disuruh, ingin dihormati dan dihargai namun tak bisa. Untukmu nona yang masih belia. Kau tak tahu begitu banyak hal. Namun gayamu seakan tahu banyak hal. Kau pun suka mendengar secara diam-diam, tetapi enggan didengarkan ketika kau ber...

Virama Dvasasa

JUDUL BUKU: Virama Dvasasa PENULIS: Drew Andre A. Martin NO. ISBN: 978-623-421-441-3 PENERBIT: Guepedia HARGA: Rp 70.000 TAHUN TERBIT: Desember  2023 JENIS BUKU: Buku Cerpen, Fiksi KONDISI BUKU: Buku Baru / Buku Original Asli, Langsung dari Penerbitnya Sinopsis : Virama Dvasasa, diartikan oleh penulis sebagai irama dua belas yang mewakili jumlah dua belas judul di dalam buku antologi cerpen ini. Sedangkan Virama yang berarti irama, merupakan bagian daripada alur dan plot di dalamnya yang tentulah tidak mulus dihadapi oleh setiap tokoh di dalamnya. Baik hambatan, konflik, penyelesaian, jalan keluar yang kadang tidak sesuai dengan espektasi yang diharapkan maupun diinginkan oleh tokoh-tokoh di sana: Leo, Briallan, Manduru, Sarita, Respati, Maria, Ronn, Sinem dan tokoh lainnya. Di sana mereka menciptakan alur irama kehidupan mereka sendiri dan mau tak mau, mereka juga harus bertanggung jawab atas penciptaan iramanya sendiri. Sekalipun mereka tahu atau tidak tahu segala risiko di belak...