Langsung ke konten utama

Candi Gayatri Boyolangu dan Candi Sangrahan

Sepagi itu, sebelum surya terbit di ufuk timur. Lalu lalang orang-orang belumlah cukup banyak di jalan utama. Stasiun pun juga tak seramai pada kelihatannya. Namun, ketika langkah kaki sampai di depan pintu masuk stasiun, tampak banyak orang-orang duduk menanti kedatangan kereta pagi, 19 April 2025. Berbagai wajah di pagi itu, tak seperti wajah-wajah di tiap siang dan malamnya. Wajah-wajah yang sumringah, siap hadapi hari itu dengan penuh yakin. Wajah sumringah dengan hati yang tak karuan, bingung apakah mampu ciptakan cerita baik di hari itu. Wajah datar dengan hati yang tak mantap dan isi kepala yang tak tahu ke mana arah tujunya, akibat mungkin baru terjaga dan terbangun dari lelah dan hiruk pikuk jalani hari kemarin yang melelahkan. Semuanya duduk dan juga berdiri dengan bawa kesiapan masing-masing pada tiap tas dan saku di bajunya, di bangku panjang dengan tenang. Ada pula yang berbisik sebab tak ingin ganggu kekhidmatan antar sesama pada pagi, menanti kereta pagi yang siap membawa ke arah tujuannya. 



Tepat pada pukul 04.18 kereta pun tiba. Suasana hari baru terasa begitu sangat saat memasuki pintu kereta api. Bukan tentang hari baru saja, melainkan tentang perjalanan di tempat yang belum saya kunjungi sebelumnya. Candi Gayatri Boyolangu dan Candi Sanggrahan—warga setempat menyebutnya Candi Cungkup. Tak seperti perjalanan ke candi Singhasari dan Candi Sumberawan, perjalanan ke sana merupakan perjalanan ke dua, meskipun saat pada perjalanan ke dua itu seorang diri saja tak seperti perjalanan pertama bersama teman-teman.

Di sepanjang perjalanan, hehijauan sawah dan ladang terhampar luas nan menyejukkan hati yang gersang. Hehijauan pohon yang menjulang tinggi tenangkan hati yang tak karuan. Pun lukisan awan yang menggantung pada langitan luas tak terbatas buat diri menjadi lapang lepas bebaskan rasa dan luka punya multi makna ke mana-mana. Olehnya, perjalanan dengan moda darat, kereta api adalah pilihan pertama untuk tiap-tiap perjalanan yang mudah dijangkau di pemberhentian yang dituju. 

Tiga setengah jam, telah terlewati. Tibalah kemudian di stasiun Tulung Agung, Jawa Timur. Aroma udara di tempat yang baru dikunjungi memanglah memiliki aroma dan rasa yang tak bisa diterjemahkan dengan baik oleh siapa pun, termasuk saya. Berjalan lalu menuju pintu keluar dan segera pesan kendaraan bermotor untuk tuju ke Candi Gayatri Boyolangu. Dan tak perlu banyak waktu, tibalah kemudian. Rasa tak karuan kembali datang silih berganti saat melihat pemukiman sekitar yang tak begitu ramai aktivitasnya di hari Sabtu. Syahdu, sejuk nan segar. Tak butuh waktu berjam-jam, sampailah pada akhirnya di lokasi yang dituju. Candi Gayatri Boyolangu. 



Suasana rindang dan sejuk mulai terasa ditambah lagi dengan sepoi angin yang berlarian kecil menyambut kedatangan dengan aroma yang sedikit lelah, meskipun kala itu cuaca amatlah terik oleh cahaya matahari. Bisa dibilang, cuaca sedang bersahabat. Terlebih saat kereta berjalan di 5-17 kilometer menuju ke stasiun Tulung Agung, sudah disambut mendung. Panasnya kala itu, tak terasa sebablah pada kemudian saya berkesempatan datang sebentar ke situs Candi Gayatri Boyolangu.

Sesampai di sana, ada kisaran dua rombongan pengunjung. Salah satu rombongannya, kembali pulang. Sedangkan rombongan salah satunya, masih berswa foto dan juga memvideo dengan kawan temannya. Mereka berjalan mengitari situs candi. Sibuk mencari angle foto terbaik menurut mereka.  


Pada akhirnya pun, tak lama kemudian rombongan tersebut bergegas pulang. Jadilah lalu saya sendirian di sana. Rasa tenang, syahdu teramat sangat mendominasi dibandingkan bunyi musik sound system warga setempat yang sedang gelar hajat temanten. Sampai-sampai nyaris tak terdengar lagi suara musik tersebut. Sesyahdu itu saat bercengkrama dengan alam dan semesta di lokasi sekitar candi. Gemuruh angin pun juga silih datang bergantian pada kemudiannya. 



Tak butuh waktu lama, lalu saya menaiki anak tangga demi anak tangga di candi tersebut. Untuk mendekati Arca Gayatri. Kemudian duduk sembari panjatkan doa untuk leluhur-leluhur di masa lalu, pun tak lupa pada beliau pun juga. Lagi dan lagi, angi berdatangan silih berganti. Kadang diam, kadang pergi, kadang diam lagi, kadang pergi lagi.



Saat tepat di suatu momen yang tepat. Lalu-lah, buyar seketika oleh suasana yang tak lagi kondusif. Sangat disayangkan sekali. Dan benar-benar di sayangkan. Momen yang harus terjadi, gagal buyar terjadi karena suatu hal. Tak dapat saya ceritakan di sini. Semoga saja ke depannya ada evaluasi pihak pengelola situs Candi Gayatri Boyolangu. Padahal untuk mendapatkan momen tersebut saya rasa sangatlah berarti, ditambah lagi ada kesakralan di dalamnya. Ditambah lagi saya sudah memperhitungkan timer dan timing yang pada kesesuaiannya. Karena saya yang tidak ingin merusak hari dan urungnya momen yang harus terjadi, saya hanya beranggapan bahwa, mungkin saja ini belum saatnya. Atau mungkin ada isyarat lain. 

Benar, sangat disayangkan sekali. Seharusnya waktunya panjang dan ingin ada jeda lama di sana untuk duduk kembali di sekitaran candi, kemudian urung karena suatu hal yang tak terduga. Bagaimana lagi, kadang hal yang tak terduga tersebut kadanglah datang di waktu yang tidak tepat dan kadang datangnya di waktu yang tepat, hanya saja kita yang tak dapat mencerna dengan tepat—anggap saja begitu, saat berkunjung ke sits Candi Gayatri Boyolangu.

Hingga pada akhirnya. Terpaksa harus pergi dari area candi, adalah memang suatu keharusan. Meskipun saat itu belum saatnya "yang harus". Semoga kelak, tidak terjadi seperti di hari itu di kemudian harinya. Sebab sangat disayangkan untuk pengunjung yang ingin datang ke lokasi tersebut, rumah mereka sangatlah jauh dari lokasi candi. 

Kembali ke area luar candi. Lalu pesan gojek. Menuju ke lokasi selanjutnya yang letaknya tak jauh dari Candi Gayatri Boyolangu. Hal yang seharusnya bisa berlama-lama sebentar di sana, urung karena hal yang tak dapat ditawar.

Sebetulnya pastilah ada banyak aksara jika memang tidak terjadi peristiwa yang tidak seharusnya terjadi. Akan tetapi ada satu kalimat yang mampir datang ketuk diri.


"Di muka bumi ini, tidak ada hal-hal yang sempurna. Sekali pun manusia yang dianggap sempurna. Mereka memiliki ketidaksempurnaan. Sempurna itu sebenarnya tentang hal-hal ketidaksempurnaan. Olehnya, sempurna itu adalah evolusi yang tiada ada hentinya. Ia terus berkembang, ia terus terjatuh, ia terus belajar,  ia terus memaklumi, dan ia-ia yang lainnya. Jika sempurna itu adalah sempurna, maka celakalah pada makna sempurna."


Perjalanan lalu lanjut ke Candi Sanggrahan atau warga lokal di sana menyebutnya, Candi Cungkup. Berdasarkan cerita yang ada. Candi tersebut merupakan candi tempat istirahat rombongan kerajaan bersama Raja Hayam Wuruk untuk menuju ke situ Candi Gayatri Boyolangu. Ya, benar sekali! Candi Sanggrahan masih berhubungan dengan Candi Sanggrahan. Di candi ini, hanyalah sekedar berkunjung saja. Tidak seperti saat di Candi Singasari dan Candi Gayatri Boyolangu. Disebabkan karena jadwal kereta api, cukuplah mepet. Tentulah tak ada aksara di sana. Karena, hanya berkunjung yang sebatas berkunjung. 




Candi yang sangat megah sekali dan sekitarnya juga dikelilingi oleh hehijauan, dan rumah-rumah warga. Suasana candi amatlah bersih sebagaimana di Candi Gayatri Boyolangu. Namun, bedanya di Candi Sanggrahan, terdapat fasilitas umum seperti toilet. Lain halnya dengan Candi Gayatri Boyolangu, yang saat itu belum ada fasilitas umum toilet.

Di sana, tidak bisa berlama-lama. Sebentar, kemudian balik ke Stasiun Tulung Agung. Di sepanjang perjalanan ada cerita unik dari driver. Mungkin juga beliau tidak begitu tahu, atau mungkin karena terdistraksi oleh kata-kata orang sekitar yang tak menahu perihal-perihal candi. Oleh karena tidak tahu, saya pun berbagi sedikit pada apa yang saya tahu. Dan harapannya, agar bapak driver memiliki cara pandang tentang hal-hal yang tidaklah seperti pandangannya. Obrolan kami pun ke mana-mana. Sampai tak terasa sampailah di Stasiun Tulung Agung. Masuk ke dalam stasiun. Duduk bersama banyak penumpang yang menunggu kereta yang sama menuju ke lokasi yang mereka tuju. Entah berangkat atau pulang. Kalaulah saya, tentu kembali pulang. Sebab pulang adalah keharusan pada akhirnya. Bukan begitu?


- Selesai -


- Drew Andre A. Martin -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Candi Singasari dan Candi Sumberawan

Memang bukan kali pertamanya ke Singasari, Malang, Jawa Timur. Mungkin kali ketiganya, di tanggal 11 Januari 2024, merupakan kali keempatnya. Namun, sebelumnya pernah berkunjung ke Arca Dwarapala Kembar, Pemandian Ken Dedes (Petirtaan Watu Gede), dan Candi Sumberawan, tetapi tak sempat berkunjung ke Candi Singasari sebab terhalang oleh waktu setiap kali berkunjung ke Singasari Malang.  Hingga pada akhirnya, penantian yang sangat lama untuk berkunjung ke Candi Singasari terlaksana pada tanggal 11 Januari 2024. Tidak hanya bahagia saja yang ada, melainkan juga rasa yang berkecamuk yang tak keruan karena pada akhirnya akan dan segera menginjakkan kaki dan melihat Candi Singasari. Tepat di tanggal 11 Januari 2024, saya pun langsung ke stasiun pemberangkatan menuju ke stasiun tujuan. Pada jam 07.00 WIB sampailah di tujuan Stasiun Singasari. Karena jam buka candi di Google jam 08.00 WIB, saya pun menunggu di dalam stasiun sembari mencharge handphone. Jam kemudian menujukkan pukul 08.00 W...

Untukmu Nona Belia

Untukmu nona yang masih belia, tak tahu soal banyak kehidupan, berlagak banyak tahu tentang banyak hal. Padahal ada sesuatu yang tak kau ketahui banyak indukmu. Gayamu seperti penengah, tapi kau bukan apa-apa. Lagakmu layaknya preman, petetang-peteteng, siapa yang tak sopan—menurutmu—kau pelototi dengan keempat matamu yang sebetulnya lemah dalam segala hal. Tingkahmu bagaikan super star, merasa kau segala-galanya, siapa yang butuh datang kemari, jika tak butuh buat apa juga melihat apalagi menyapa, menurutmu, kau dibutuhkan oleh mereka-mereka, padahal mereka-mereka itu menjadikanmu sebagai penggenap saja, macamlah sekadar butuh untuk sementara waktu. Gayamu paling tahu tapi tak banyak tahu, suka ngatur tapi enggan diatur, senang menyuruh tetapi tidak mau disuruh, ingin dihormati dan dihargai namun tak bisa. Untukmu nona yang masih belia. Kau tak tahu begitu banyak hal. Namun gayamu seakan tahu banyak hal. Kau pun suka mendengar secara diam-diam, tetapi enggan didengarkan ketika kau ber...

Virama Dvasasa

JUDUL BUKU: Virama Dvasasa PENULIS: Drew Andre A. Martin NO. ISBN: 978-623-421-441-3 PENERBIT: Guepedia HARGA: Rp 70.000 TAHUN TERBIT: Desember  2023 JENIS BUKU: Buku Cerpen, Fiksi KONDISI BUKU: Buku Baru / Buku Original Asli, Langsung dari Penerbitnya Sinopsis : Virama Dvasasa, diartikan oleh penulis sebagai irama dua belas yang mewakili jumlah dua belas judul di dalam buku antologi cerpen ini. Sedangkan Virama yang berarti irama, merupakan bagian daripada alur dan plot di dalamnya yang tentulah tidak mulus dihadapi oleh setiap tokoh di dalamnya. Baik hambatan, konflik, penyelesaian, jalan keluar yang kadang tidak sesuai dengan espektasi yang diharapkan maupun diinginkan oleh tokoh-tokoh di sana: Leo, Briallan, Manduru, Sarita, Respati, Maria, Ronn, Sinem dan tokoh lainnya. Di sana mereka menciptakan alur irama kehidupan mereka sendiri dan mau tak mau, mereka juga harus bertanggung jawab atas penciptaan iramanya sendiri. Sekalipun mereka tahu atau tidak tahu segala risiko di belak...